- Senator Partai Demokrat dari Massachusetts, Elizabeth Warren, mengatakan Powell melakukan pekerjaan buruk dalam memimpin The Fed, membuat perekonomian Amerika Serikat menuju resesi. Warren juga mengatakan regulasi yang lemah membuat SVB dan beberapa bank lainnya kolaps.
- Resesi di Amerika Serikat masih menjadi pro dan kontra, ada yang mendukung terjadi guna menurunkan inflasi ada yang menyatakan resesi adalah hal buruk.
- Terlepas dari kebijakan yang diambil The Fed, Powell sebenarnya beberapa kali membuat pasar kebingungan, atau mencla-mencle sejak mulai mengetatkan kebijakan moneternya. Salah satu investor papan atas bahkan menyebut Powell lebih baik diam dan tak banyak bicara.
Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell bisa dikatakan menjadi orang paling menarik perhatian di pasar finansial dunia dalam satu tahun terakhir. Memimpin bank sentral paling powerful di dunia, setiap kebijakan yang diambil memberikan dampak besar ke dunia.
Banyak yang mengkritik langkah yang diambil Powell sejak memulai normalisasi kebijakan moneternya. Bahkan, Senator dari Partai Demokrat dari Massachusetts, Elizabeth Warren, mengatakan Powell “orang yang berbahaya” dalam menjalankan perannya sebagai ketua The Fed.
Dalam wawancara dengan Jake Tapper dari CNN pada Rabu (22/3/2023) waktu setempat, Warren menyebut Powell melakukan “pekerjaan yang buruk”, berisiko membawa perekonomian AS mengalami resesi dengan terus menaikkan suku bunga.
“Saya pikir dia adalah orang yang berbahaya dalam menjalankan tugasnya,” kata Warren.
Warren juga menyinggung kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank akibat lemahnya regulasi selama kepemimpinan Powell.
“Saya memprediksi lima tahun lalu, konsekuensi dari pelonggaran regulasi semacam itu membuat bank-bank menanggung risiko yang besar, mencari keuntungan jangka pendek, memberikan bonus dan gaji yang besar, kemudian bank tersebut kolaps,” ujar Warren.
Perekonomian Amerika Serikat yang menuju resesi akibat suku bunga tinggi sebenarnya menjadi pro dan kontra. Beberapa pihak melihat Amerika Serikat memang perlu mengalami resesi untuk segera menurunkan inflasi. Analis maupun ekonom lain melihat resesi bisa dihindari sembari menurunkan inflasi.
Terlepas dari kebijakan yang diambil The Fed, Powell sebenarnya beberapa kali membuat pasar kebingungan, atau mencla-mencle sejak mulai mengetatkan kebijakan moneternya.
Pada akhir 2021 ketika mulai melakukan tapering Powell juga menyatakan akan bersabar untuk menaikkan suku bunga. Tetapi nyatanya, sikap tersebut berubah dalam tempo sebulan, tapering diakselerasi dan suku bunga dinyatakan akan naik mulai Maret.
Kemudian, suku bunga disebut akan naik secara bertahap tetapi berubah lagi menjadi lebih agresif dengan menaikkan 50 basis poin di bulan lalu.
Pada Mei 2022, Powell menegaskan tidak mempertimbangkan kenaikan 75 basis poin, tetapi kenyataannya berbeda. Sebulan berselang Powell menaikkan 75 basis poin, kenaikan terbesar dalam 30 tahun terakhir.
Hal yang sama juga terjadi pada Februari lalu, saat The Fed mengendurkan laju kenaikan suku bunganya. Powell mengatakan proses disinflasi sudah dimulai saat menaikkan suku bunga 25 basis poin.
“Kami saat ini bisa mengatakan saya pikir untuk pertama kalinya proses disinflasi sudah dimulai,” kata Powell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (2/2/2023).
Pernyataan tersebut membuat pasar melihat The Fed tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga, tetapi beberapa pekan berselang, Powell justru mengindikasikan suku bunga bisa naik lagi sebesar 50 basis poin.
Pasar finansial pun kembali mengalami gonjang-ganjing, apalagi ditambah dengan kolapsnya SVB.
Ken Griffin pendiri Citadel dan manajer hedge fund paling sukses di Wall Street pada tahun lalu bahkan menyebut Powell lebih baik diam.
“Jika saya bisa mengatakan kepada ketua (Powell), saya akan bilang jangan banyak bicara. Variasi pesan yang diberikan dalam beberapa pekan terakhir sangat kontraproduktif,” saat berbicara kepada Bloomberg News awal Maret lalu.