China Siapkan ‘Senjata’ Baru Hadapi Krisis Pangan, RI Kapan?

Pembeli terlihat di pasar basah saat Chengdu memberlakukan kontrol statis di seluruh kota untuk mengekang wabah COVID-19 baru pada 1 September 2022 di Chengdu, Provinsi Sichuan, China. (VCG via Getty Images/VCG)

Pemerintah China menegaskan komitmen mereka untuk meningkatkan kapasitas produksi biji-bijian.

Kebijakan tersebut diambil sebagai langkah penting dalam menjaga kecukupan pasokan pangan dan stabilitas harga serta mengurangi ketergantungan dengan negara lain.

National Development and Reform Commission (NDRC) – badan perencanaan ekonomi tertinggi Tiongkok – menyatakan penting bagi mereka untuk bisa memproduksi biji-bijian di atas 650 juta ton. Termasuk di dalamnya adalah beras.

Perdana Menteri Li Keqiang, akhir pekan lalu, dalam laporannya di hadapan Kongres Rakyat Nasional, akhir pekan lalu mengatakan pemerintah menyiapkan kampanye baru untuk meningkatkan kapasitas produksi biji-bijian.

“Kita harus menjaga total lahan tanam biji-bijian pada tingkat yang stabil, meningkatkan produksi tanaman biji-bijian, dan meluncurkan kampanye baru untuk meningkatkan kapasitas produksi biji-bijian.” Tutur Li Keqiang, dikutip dari Bloomberg.

Rencana tersebut akan mencakup pengembangan lahan pertanian berkualitas tinggi, dukungan bagi sektor teknologi pertanian, dan inovasi lebih lanjut di industri benih.

Pemerintah Beijing kembali memfokuskan pada ketahanan pangan karena pandemi Covid-19 telah mengganggu pasokan pertanian global dan membatasi perdagangan pupuk esensial seiring eskalasi perang Rusia di Ukraina.

Meskipun mampu menjadi produsen biji-bijian terbesar di dunia, Tiongkok beberapa dekade terakhir semakin bergantung pada impor dari pemasok seperti Amerika Serikat dan Brasil. Pasalnya, konsumsi di dalam negeri makin besar.

“Kita menghadapi ketidakpastian dalam memastikan produksi pangan yang stabil dan keseimbangan yang ketat antara pasokan dan permintaan untuk beberapa produk dan pasokan pertanian tertentu,” kata NDRC dalam laporannya.

“Harga biji-bijian tetap tinggi di pasar internasional, yang dapat menciptakan efek gelombang di pasar domestik.” Imbuh laporan tersebut.

Li tidak menetapkan timeline yang jelas untuk mencapai peningkatan kapasitas produksi biji-bijian tersebut. Yang pasti rencana ini termasuk dalam prioritasnya untuk 2023 dalam laporan kerja terpisah.

Data NDRC menunjukkan hasil panen biji-bijian China pada 2022 mencapai 686,55 juta ton. Produksinya stabil naik di atas 650 juta ton sejak 2015.

NDRC juga menyatakan bahwa China akan membangun lebih banyak fasilitas penyimpanan biji-bijian dan logistic.

Tiongkok juga akan memastikan perencanaan yang baik untuk penjualan cadangan biji-bijian. Pemerintah juga akan mencari kemajuan dalam penciptaan pusat nasional untuk benih kedelai.

Langkah ini diyakini akan membantu China mengurangi ketergantungan pada pasokan luar negeri dan memperkuat ketahanan pangan nasional di masa depan. Hal ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi petani dan konsumen China.

Pengalaman 2022 di mana dunia diguncang krisis pangan dan lonjakan harga mengajarkan China akan pentingnya menjaga ketahanan pangan.

Tahun lalu India mengalami gagal panen akibat gelombang panas dan curah hujan yang rendah. Padahal, India adalah pemasok beras bagi 100 negara, termasuk China, Nepal dan beberapa negara Timur Tengah.

Situasi yang menimpa India memperburuk krisis pangan global dan mempengaruhi harga di pasar dunia.

India merupakan eksportir terbesar beras di dunia dan berkontribusi 40% terhadap perdagangan beras global. Dilansir The Economic Times, ekspor beras India pada 2021 menembus 21,5 juta ton.

Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan gabungan ekspor dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Amerika Serikat (AS).

India bukanlah produsen terbesar beras di dunia. Merujuk data World Economic Forum (WEF) pada 2019, China masih menjadi produsen beras di dunia dengan total produksi mencapai 211,4 juta ton disusul dengan India sebesar 177,6 juta ton kemudian Indonesia (54,6 juta ton)

Ketakutan China akan krisis pangan bukan tanpa alasan. Sejumlah negara sudah melaporkan akan perubahan iklim yang sangat ekstrim. Kondisi ini akan mengganggu produksi pangan, mulai dari beras hingga gandum.

Perubahan iklim yang mencolok juga terjadi di Australia. Beberapa wilayah di timur Australia, termasuk Sydney, mencatat suhu tertinggi dalam lebih dari dua tahun pada hari Senin kemarin (6/3/2023) dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat Celcius.

Suhu yang panas ini tentu saja meningkatkan risiko kebakaran hutan.

Cuaca ekstrim juga bisa berdampak besar pada pasokan pangan global, mengingat Australia merupakan salah satu produsen utama gandum dunia.

Produksi gandum Australia menyumbang sekitar 3,2% dari pasokan gandum global sejak 2000 hingga 2020 berdasarkan World Economic Forum.

Indonesia juga tidak bisa lepas dari ancaman krisis pangan global. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa cuaca panas atau, fenomena naiknya atau pemanasan Suhu Muka Air Laut (El Nino) akan muncul pada semester II tahun 2023.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan mengatakan, ada peluang kemunculan El Nino di semester kedua dengan intensitas lemah.

Dampak yang dikhawatirkan bilamana El Nino kuat muncul, menurutnya, adalah kemarau yang panjang dan mengakibatkan kekeringan di seluruh area pertanian dan hutan.

Dalam kondisi kering bila aktifitas pembukaan lahan dilakukan dengan cara membakar, akan sangat berisiko terjadi kebakaran yang luas dan tidak terkendali, apalagi di lahan gambut.

Cuaca ekstrim bisa sangat berdampak besar terhadap harga pangan dan inflasi. Terlebih, banyak komoditas pangan Indonesia yang rawan dengan perubahan iklim, mulai dari cabai rawit, sayur-sayuran, hingga beras.

Harga beras bahkan terus menjadi persoalan besar sejak akhir tahun lalu karena harganya yang melambung.

Merujuk pada Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga beras belum juga menurun pada Februari. Harganya bahkan menembus Rp 13.200  atau level tertinggi yang pernah dicatat oleh PIHPSN.

Pada Senin (27/2/0223), harga beras 1 kg dibanderol Rp 13.200 atau melonjak 2,32% sebulan. Rata-rata harga beras dijual pada harga Rp 13.092/kg pada Februari atau lebih mahal 2,5% dibandingkan pada Januari 2023.

Kenaikan harga beras akan melambungkan inflasi mengingat bobot beras dalam perhitungan inflasi terbilang besar yakni 3,33%.

Harga beras sudah merangkak naik sejak September 2022 dan belum juga menurun. Harganya diperkirakan baru akan melandai pada Maret sejalan dengan panen raya.

Harga beras juga pernah melonjak tajam pada 2010 karena cuaca ekstrim. BMKG menyebutkan cuaca di tahun 2010 adalah yang paling ekstrem dalam periode 12 tahun.

Pada tahun tersebut terjadi penyimpangan musim kemarau serta memanasnya suhu permukaan laut hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di pertengahan tahun juga masih terjadi hujan sehingga mengakibatkan terganggunya musim tanam padi.

Di saat yang bersamaan, Indonesia tidak bisa mengimpor beras dalam jumlah besar karena produsen besar seperti Vietnam dan Thailand melakukan pengetatan ekspor beras.

Lonjakan harga beras juga disebabkan karena keterlambatan pendistribusian raskin untuk masyarakat miskin, dimana biasanya sering terjadi pada awal tahun.

Merujuk data BPS rata-rata harga beras pada tahun 2010 meningkat 6% tetapi pada awal-awal tahun sempat melonjak 8%.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*